Senin, 24 Mei 2010

EPISTEMOLOGI

EPISTEMOLOGI RENE DESCARTES

Oleh: Moh. Natsir Mahmud
=====================================

I

Rene’ Descartes (1596-1650 M.) adalah seorang filosof dari Perancis, pendiri filsafat rasionalisme. Semula ia belajar di sekolah Yesuit kemudian belajar Matematika, Hukum, Kedokteran dan Ilmu Alam. Munculnya era modern tidak dapat dipisahkan dari peran Descartes yang dikenal sebagai father of modern philosophy (bapak filsafat modern).
Epistemologi Descartes berawal dari rasa skeptis terhadap perkembangan samannya. Pengetahuan warisan era skolastik dipandang tidak mampu memberikan keyakinan yang pasti karena pengetahuan di masa ini bukan bersumber dari manusia sendiri melainkan dari luar diri manusia. Mitologi-mitologi yang juga cukup banyak mewarnai kehidupan masyarakat, oleh Descartes dipandang sebagai ilusi karena bertentangan dengan penalaran akal sehat. Di masa menjelang dan awal renaisans Descartes melihat berbagai pengetahuan yang saling bertentangan satu sama lain sehingga juga tidak bisa memberikan keyakinan bagi pencari kebenaran. Descartes menginginkan pengetahuan yang pasti yang tidak dapat lagi diragukan kebenarannya.
Descartes memulai pencarian kebenaran dengan metode skeptis. Segalanya ia ragukan kecuali keraguan itu sendiri sebagai realita diri yang obyektif. Keraguan sebagai awal kerja pikiran. Aktualisasi pikir identik dengan kesadaran (consciousness). Karena itu, "berpikir menunjukkan keberadaan aku". Terkenallah semboyan beliau: Cogito ergo sum (‘je pense donc je suis =saya berpikir karena itu saya ada). Descartes dalam hal ini mereduksi eksistensi manusia pada pikiran.
Skeptisisme Descartes tidak seperti dalam konsep Epikurisme dan Pyrrho yang menjurus ke nihilisme. Bagi Descartes skeptik bersifat metodik atau lebih dikenal dengan istilah “keraguan metodik”. Keraguan metodik dipandang sebagai salah satu foundation of sciences. Newman berpendapat bahwa skeptisisme Descartes adalah semacam hipotesis ilmiah. Dalam hal ini Newman menjelaskan: “…it is clear that Descartes regards his hyperbolic doubts as merely hypothetical”. (Newman, 1997, h. 7).
Sebagai seorang rasionalis, Descartes memandang bahwa sumber pengetahuan bukan dari obyek-obyek di luar diri, melainkan dari dalam subyek (manusia) itu sendiri, yakni pikirannya. Baginya, hasil cerapan inderawi tidak dapat dipercaya karena indera memberikan laporan yang beraneka, berbeda bahkan mungkin kontradiksi satu sama lain. Hasil cerapan inderawi semuanya diragukan, kemudian ia menengok ke dalam dirinya yakni pikirannya, di sanalah ia memperoleh pengetahuan yang pasti. Dalam kaitan ini Descartes dikenal sebagai internalis. Yang disebut internalis, sebagaimana dijelaskan: “ …a theory of justification is internalist insofar as it requires that the justifying factors grounding knowledge claims are accessible to the knower's consciousness. On this construal, Descartes is a thorough-going internalist”. (Ibid., h. 2) (… sebuah teori pembenaran disebut internalis sejauh teori itu menghendaki bahwa faktor-faktor pembenaran yang melandasi klaim pengetahuan, adalah dengan jalan masuk ke dalam kesadaran orang yang mengetahui itu sendiri. Dalam hal ini Descartes benar-benar seorang internalis). Jadi bila seseorang melihat benda, pengetahuan tentang benda itu bukan pada benda itu melainkan setelah orang itu melihat ke dalam kesadaran pikirannya. Di dalam kesadaran (consciousness)nya ia mengetahui esensi benda itu. Apa yang menjamin kebenaran dalam consciousnes itu? Menurut Descartes jaminan kebenaran itu adalah Tuhan sendiri, karena Tuhan meletakkan dalam consciousnes manusia semacam idea innata (ide bawaan) yang menjamin kebenaran dalam apresiasi rasional. Dalam karyanya: Meditation IV, Descartes menjelaskan: ….that I can never therefore be deceived; for if all I possess be from God, and if he planted in me no faculty that is deceitful, it seems to follow that I can never fall into error. Accordingly, it is true that when I think only of God (when I look upon myself as coming from God, Fr. ), and turn wholly to him, I discover [in myself] no cause of error or falsity. (….bahwa karena itu, saya tidak bisa tertipu, karena jika semua yang saya miliki {ketahui} adalah dari Tuhan, dan jika Ia tidak menanamkan pada diri saya kemampuan yang bisa tertipu, maka dapat diakui bahwa saya tidak pernah jatuh dalam kesalahan. Karena itu, adalah benar bahwa apabila saya hanya berpikir tentang Tuhan {ketika saya memandang diri saya berasal dari Tuhan} dan semuanya akan kembali kepadaNya, saya tidak menemukan dalam diri saya penyebab pada kesalahan dan kepalsuan). (Meditation IV, No.4). Descartes dalam hal ini membangun sebuah pengetahuan apriori, sebagai lawan dari pengetahuan aposteriori (berdasarkan pengamatan empiris). Descartes tidak menolak sama sekali pengetahuan empiris (cerapan inderawi), tetapi menjadikannya sebagai “penunjang” untuk pembenaran pengetahuan apriori, dengan demikian epistemologi Descartes bersifat deduktif.

II

Dalam epistemologi Descartes, ia mengikut sertakan kategori normatif dalam proses epistemiknya. Kategori normatif tersebut misalnya adalah praise dan blame (pujian dan celaan) atau bisa disebut dengan like and dislike. Dalam hal ini Newman menjelaskan: “Descartes regards the categories of praise and blame as quite appropriate to epistemology”. (Ibid h. 3). Dengan demikian, pandangan bahwa Descartes sebagai penyebab terjadinya sekularisasi ilmu pengetahuan tidak tepat. Cikal bakal terjadinya sekularisasi ilmu pengetahuan lebih tepat dialamatkan kepada Immanuel Kant yang kemudian diperkuat oleh Auguste Comte, Ayer, Max Weber dsb.. Dalam epistemologi Kant, kategori normatif (categories of praise and blame) pada Descartes diberi ruang tersendiri dalam struktur kesadaran manusia. Kategori tersebut dipisahkan secara tegas dalam sebuah dinding pembatas yang kokoh dengan kategori pikiran murni yang hanya tunduk pada prinsip logika. Kategori pikiran murni yang dituntun dengan logika melahirkan kebenaran saintifik yang netral nilai, sedangkan kategori normatif yang diisolasi pada ruang tersendiri menjadi imprative category yang kemudian menjadi cikal bakal bagi nilai-nilai moral. Pandangan Descartes tersebut menimbulkan kontroversi, karena di satu sisi ia mengakui ada kategori normatif dalam struktur ilmiah, tetapi di sisi lain ia merasa telah meletakkan landasan ilmiah deskriptif. Kategori normatif bisa berada pada posisi internal atau eksternal. Internal, karena kategori tersebut co-exist dengan rasio murni, tetapi di sisi lain bisa disebut eksternal karena terletak di luar deskripsi. Fungsi kategori tersebut adalah “keharusan jastifikasi” terhadap kebenaran yang sudah diperoleh. Karena itu, rasionalisme Descartes sebagai pembangun teori jastifikasionisme, sedangkan rasionalisme-kritis oleh Karl R. Popper menganut pandangan falsifikasionisme. Menurut Desrcartes, kebenaran yang sudah ada harus selalu dicarikan justifikasi agar semakin kokoh dan solid. Hal tersebut bisa membawa pada pandangan absolutisme. Sebaliknya Popper memandang bahwa kebenaran yang ditemukan bukan untuk dicarikan justifikasi, tetapi dengan falsifikasi (penyalahan). Artinya, kebenaran itu tentatif dan bisa berguna untuk sementara sambil melakukan studi kritis untuk mencari kelemahannya dengan memfalsifikasikan dan selanjutnya dilakukan rekonstruksi (Lihat Popper, 1976, h. 86), hal ini akan mendorong dinamika perkembangan ilmiah. Bagi Descartes sebuah statemen disebut ilmiah bila membuahkan kebenaran yang pasti, tetapi bagi Popper sebuah statemen disebut ilmiah bila statemen itu bisa dikritik dan selalu terbuka terhadap kritik. (lihat Schlesinger., h.712).

III

Metode penalaran yang dibangun oleh Descartes bersifat analitik, yakni memecah konsep pemikiran ke dalam potongan-potongan, kemudian menata kembali potongan-potongan itu dalam sebuah konstruksi logis. Cara berpikir demikian juga bercorak mekanis karena sebuah entitas dianalisis dengan mengurai satu demi satu dengan tetap melihat interdependensinya satu sama lain, tetapi interdependensi itu bersifat internal karena hanya yang terjadi dalam entitas itu sendiri. Berpikir mekanis mengisolir entitas ke luar konteks lingkungannya kemudian entitas itu dianalisis tersendiri dengan mengabaikan keterkaitannya dengan entitas yang lain. Cara berpikir mekanis ini mereduksi realitas dalam satuan-satuan lepas dari konteksnya. Dalam menganalisis sebuah entitas, Descartes menggunakan matematika dan geomentri sebagai sarana memperoleh kepastian. Analisis matematis ini lebih mempertegas corak reduksionisme pemikiran Descartes karena realitas direduksi menjadi sesuatu yang calculable. Di atas telah dikemukakan bahwa bagi Descartes, Tuhan sebagai Penjamin peroleh kebenaran. Jaminan Tuhan tersebut dimanifestasikan dalam realitas alam ciptaan Tuhan yang matematis. Jadi realitas alam yang matematis memiliki cermin dalam pikiran karena pikiran memiliki kemampuan berupa pengetahuan matematis dan geometris. Analisis matematis terhadap realitas menyebabkan manusia tidak dapat melihat makna-makna di balik penampakan lahiriyah benda-benda. Bila Descartes menganalisis secara matematis terhadap benda-benda fisik, maka aliran Positivisme oleh Auguste Comte menganalisis secara matematis fenomena sosial dan psikologis. Comte menganalogikan realitas sosial dan psikis dengan alam fisik. Hukum-hukum fisika diterapkan pada realitas sosial, sehingga sosiologi disebutnya dengan Fisika Sosial.
Reduksionisme yang dibangun oleh Descartes lebih jelas lagi dalam pandangan dualismenya. Menurut Descartes, terdapat dua alam yaitu alam materi dan alam kejiwaan. Manusia terdiri dari dua unsur: Jasmani dan rohani, keduanya berada dalam alamnya sendiri-sendiri. Alam materi tunduk kepada hukum matematis, sedangkan alam rohani hanya merupakan kualitas-kualitas hidup. Dualisme ini menyebabkan terjadinya kesulitan untuk melihat interdependensi antara dunia material dengan dunia rohani. Reduksionisme mencapai puncaknya pada abad ke-19, yang mana elemen-elemen dalam sebuah realitas ditonjolkan hanya satu elemen, kemudian elemen yang satu itu diuniversalkan untuk mewarnai seluruh elemen lainnya. Pandangan reduksionisme di abad ke-20 dan 21 dipandang sudah tidak mampu mengatasi problema hidup manusia yang demikian kompleks. Maka pendekatan yang dipandang lebih tepat adalah pendekatan holistik yakni memecahkan masalah melalui multidisipliner.


IV

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Descartes dengan filsafat rasionalismenya memberikan babak baru bagi perkembangan peradaban manusia. Descartes meletakkan prinsip-prinsip dasar bangunan ilmiah yang berawal dari keraguan menuju kebenaran yang pasti dengan bantuan matematik dan geometri. Kajian matematis terhadap alam fisik berdampak besar terhadap perkembangan sains dan teknologi dewasa ini. Terlepas dari itu, Descartes juga meninggalkan berbagai kelemahan karena ia mewariskan cara berpikir reduksionis yang juga menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis dalam kehidupan modern. Pandangan Descartes sendiri sangat bersifat religius karena ia mentransendenkan diri kepada Tuhan, tetapi akibat epistemologinya yang hanya melihat sisi matematis pada benda, sehingga para pengikutnya di kemudian hari tidak lagi melihat sisi spiritual dan rasio-transenden dalam pikiran Descartes. Hal tersebut membawa pada kehampaan spiritual dalam kehidupan modern.



===========================
Kepustakaan

 Descartes, Rene, Meditation IV, Oxford University Press, 1980.
 Newman, “Rene Descartes” dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, December 3, 1997.
 Popper, Karl R., Unended Quest: An Intelectual Autobiography (Great Britain: Fontana/Collins, 1976), h. 86.
 Schlesinger, G., "Popper on Self-Reference", dalam Paul Arthur Schilpp (ed.), The Philosophy of Karl Popper, Book II (La Salle, Illinois: Open Court, 1974), h. 712

Minggu, 23 Mei 2010

MEMBANGUN TATA PIKIR: Fungsional

TATA PIKIR FUNGSIONAL


Tata pikir fungsional sering disamakan dengan tatapikir struktural, namun sebenarnya berbeda. Tata pikir struktural lebih menekankan pada mekanisme kerja sebuah struktur, sedangkan tata pikir fungsional lebih menekankan pada fungsi-fungsi yang dimainkan oleh elemen dalam struktur. Talcott Parsons (sosiolog dari Harvard University) semula menamakan teorinya dengan struktural, namun dengan struktural semata, akan mengabaikan fungsi-fungsi elemen sebuah struktur, sebaliknya dengan fungsional semata akan mengabaikan interdependensi fungsional. Lalu Parsons mengkombinasikan antara keduanya, yakni strukturalisme-fungsional.
Akan tetapi tata pikir fungsionalisme, juga pernah menjadi tren dalam cara berpikir abad ke-19. Tata pikir fungsional lebih menekankan pada eksistensi fungsi dari pada esensi. Sebuah gagasan, entitas, institusi dsb., bukan esensinya yang penting melainkan fungsinya. Keistimewaan tata pikir ini adalah analisis fungsional sesuatu benar-benar ditampilkan secara gamblang dan detail. Namun, salah satu kelemahannya adalah sering terjebak ke dalam reduksionisme atau disebut reduksi-fungsional. Reduksionisme adalah cara pandang yang menonjolkan satu fungsi sebuah entitas dengan mengabaikan yang lain dimana fungsi yang ditonjolkan itu mewarnai fungsi-fungsi lainnya. Manusia, misalnya adalah makhluk multi fungsi, ia adalah makhluk sosial, budaya, ekonomi, politik dan agama. Tetapi orang yang berkecimpung di bidang studi keagamaan, seringkali mereduksi fungsi manusia sebagai makhluk agama. Fungsi lainnya seperti: ekonomi, politik, sosial dan budaya semuanya dilihat dalam warna agama. Bila seorang ahli ekonomi, ia mungkin mereduksi manusia ke dalam fungsi ekonomi. Politik, sosial, budaya dan agama semuanya dilihat dalam kacamata ekonomi. Orang berdoa misalnya adalah berfungsi ekonomis untuk mendapatkan sesuatu yang memberi kesejahteraan hidup, memohon rezeki dsb. Demikian pula bila ahli pendidikan memandang manusia sebagai makhluk homo educandum semata, maka konsep pendidikan yang ditawarkan akan lebih abstrak dan idealistik sehingga kurang relevan dengan dimensi sosial, ekonomi, agama dan budaya.
Tata pikir fungsional sudah tidak relevan dengan situasi dewasa ini karena permasalahan yang muncul semakin kompleks sehingga manusia harus dilihat sebagai makhluk multi dimensi, dan harus didekati dengan pendekatan sistemik, tidak cukup dengan reduksi fungsi pada satu sisi. (Nasmah)

MEMBANGUN TATA PIKIR: Dialektika

TEORI DIALEKTIKA HEGEL
Oleh: Moh. Natsir Mahmud

Tata pikir dialektika digunakan pertama kali oleh Sokrates (filosuf Yunani abad ke 5 sM) dalam bentuk dialog dengan metode induktif. Misalnya, untuk mengetahui makna definitif tentang keadilan, Sokrates masuk ke pasar menanya setiap orang tentang apa itu keadilan. Ia berkeliling ke pelosok desa menanya para petani, ia mendatangi para tukang, buruh, pegawai istana, lasykar kerajaan untuk bertanya tentang keadilan. Dari sekian banyak orang ditanya, Sokrates mengambil kesimpulan induktif bahwa makna adil yang definitif adalah bertindak secara proporsional, menunaikan kewajiban secara benar dan menuntut hak secara wajar.
Di abad ke 18/19 Geogre Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) menolorkan cara berpikir dialektika dalam bentuk kontradiksional. Menurut Hegel realitas sosial berada dalam kontradiksi satu sama lain dan justru dalam kontadiksi itu esensi dan identitas diri ditemukan. Jadi, Sokrates menemukan esensi (yang definitif) di dalam perbedaan (differensiasi), Hegel menemukan esensi dalam pertentangan (kontadiksi). Untuk memahami sesuatu bukan hanya dipahami pada dirinya, melainkan juga pada lawan dari sesuatu itu. Untuk mengetahui hakikat sehat, tidak cukup diketahui pada kondisi sehat melainkan pada sakit. Orang yang tidak pernah sakit tidak akan memahami arti sesungguhnya kesehatan itu. Menurut Hegel, individu selalu berkontradiksi dengan masyarakatnya, karena individu selalu menghadapi tantangan dalam masyarakat, tetapi justru kontradiksi itu, maka individu menemukan dirinya yang sesungguhnya, dan masyarakat pun berkembang lebih sempurna. Kontradiksi bukan saja dengan masyarakat tetapi dengan dunia kehidupan. Kehidupan sebagai realitas obyektif yang menantang individu sebagai subyek. Dunia menantang subyek, maka subyek sampai pada dirinya, ia memahami dirinya yang sesungguhnya dalam dunianya; dunia pun semakin “memanusia” dimanusiakan oleh subyek manusia. Dengan demikian proses dialektika terjadi saling memberi dan menerima, saling mengisi dan memperkuat. Bila dua bangsa bermusuhan, misalnya Amerika dengan Irak, maka keduanya dapat memahami dirinya. Dengan invasi Amerika ke Irak, Amerika mengetahui bahwa ternyata tidak mudah menggiring bangsa Irak sesuai kehendaknya, bangsa Irakpun paham bahwa dipimpin oleh seorang presiden seperti Saddam menyengsarakan bangsa Irak sendiri.
Langkah selanjutnya adalah Hegel mengajukan pemikiran trilogi, yakni tesa, antitasa dan sintesa. Tesa adalah sebuah entitas, ditantang oleh antitesa sebagai lawannya kemudian menghasilkan sintesa, sintesa menjadi tesa baru melahirkan antitesa baru, seterusnya terjadi sintesa baru. Begitulah realitas kehidupan berdialektika. Pemikiran trilogi dilihat oleh Hegel dalam sejarah, misalnya perkembangan demokrasi. Menurut Hegel, agama Katolik tidak memberikan kebebasan kepada penganutnya, semua keputusan berada di tangan Paus. Ini mendapat antitesa dari Protestan yang memberikan kebebasan kepada penganutnya, kemudian muncul sintesa dalam bentuk demokrasi liberal dalam masyarakat kapitalis. Demokrasi liberal sebagai tesa baru menghadapi antitesa dari sistem sosialisme ala komunisme, kemudian keduanya bersintesa dalam sistem kapitalis yang mengakomodir partai buruh dan partai sosialis (bukan sosialisme), misalnya di Belanda, Perancis dan Australia dsb. Dialektika Hegel diteruskan oleh Karl Marx dalam bentuk dialektika materialisme, namun karena keterbatasan halaman, akan diurai di masa akan datang.

MEMBANGUN TATA PIKIR: Kontekstual

TATA-PIKIR KONTEKSTUAL

Tata-pikir kontekstual sering dilawankan dengan tekstual. Tekstual, adalah pengertian yang diambil berdasarkan bunyi teks, sedangkan kontekstual adalah suasana sosio-kultural yang melingkupi sebuah teks. Artinya, baik penutur teks maupun obyek (masyarakat) teks tidak bisa lepas dari suasana sosio-kultural yang mengitarinya. Dengan demikian, teks yang terkait dengan sosio-kultural, maknanya sering kali tidak diartikan secara harfiah lagi melainkan sudah terpenetrasi dengan sosio-kultural, itulah yang disebut makna kontekstual. Bila Islam (yang termaktub dalam teks Alqur’an dan Sunnah) adalah sebuah teks, maka masyarakat di mana Islam itu berada adalah konteks. Masyarakat dengan sendirinya memiliki latar historis, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai spesifik sehingga “teks Islam” akan terpenetrasi dengan kondisi kultural yang menghasilkan “kontekstual Islam” yang tipikal (khas). Apakah esensi Islam keseluruhan akan terpenetrasi dengan konteks? Tentu saja tidak, karena setiap umat Islam secara imperatif (keharusan) memelihara esensi Islam yang universal, seperti ketauhidan dan aturan-aturan ubudiyah dan norma-norma lainnya yang bersifat mutlak (qath’iy). Yang terpenetrasi secara kontekstual bukan yang esensial melainkan yang aksidensial. Kepercayaan terhadap kerasulan Muhammad SAW misalnya, adalah salah satu esensi akidah, tetapi termanifestasi secara aksidensial dalam berbagai cara. Salah satu manifestasi keimanan kepada Rasulullah secara kultural, mungkin dimanifestasikan dalam upacara maulid secara seremonial atau membaca barzanji atau maulidan gaya masyarakat Islam Cikoang, semuanya adalah bagian dari manifestasi keimanan kepada Rasulullah secara kontekstual, terlepas dari setuju atau tidak cara seperti di atas.
Dalam dekade 90an muncul wacana Islam kontekstual yang memperlihatkan kemajemukan (pluralitas) Islam. Islam ala Indonesia berbeda dengan Islam ala Malaysia, Pakistan, Mesir, Saudi, Libya, Maroko, dll. Namun dalam keanekaan itu, mereka satu dalam nilai Islam universal. Adalah anarkis bila tata-pikir kontekstual diterapkan secara mutlak sehingga yang esensial pun dikontekskan. Cara ini biasanya dilakukan oleh para pemikir liberal di dunia Islam yang menghasilkan bukan lagi berpikir “pluralistik” melainkan sudah berpikir “pluralisme-kebenaran”, yang ujung-ujungnya memandang semua agama sama-sama benar. Wah ini overdosis. (nasmah).

Minggu, 09 Mei 2010

DIALOG INTERELIUS

DIALOG INTERRELIGIUS MENURUT
WILLIAM MONTGOMERY WATT
==================================
Oleh: Moh. Natsir Mahmud


I

William Montgomery Watt lahir di Edinburg, Skotlandia tahun 1909. Semasa hidupnya, dia berdiam di sebuah kota kecil di Skotlandia bernama Delkeith. Di masa kecilnya dia bercita-cita menjadi menjadi saintis di bidang fisika seperti Albert Einstein. Akan tetapi ia tertarik pada Filsafat, Karena di negerinya telah ada seorang filosof terkenal, David Hume (1711-1776).
Watt belajar bahasa klasik di Universitas Edinburg, sastra dan teologi di Oxford, filsafat di Jena dan bahasa Arab di London. Watt adalah seorang pendeta yang aktif memimpin kebaktian gereja di kediamannya, Delkeith. Perhatiannya pada Islam mulai timbul pada tahun 1937 ketika bertemu dengan seorang mahasiswa Muslim jurusan kedokteran hewan dari India bernama Ahmedi, seorang muslim beraliran Qadyan. Ahmedi dipandang seorang argumentatif dalam diskusinya dengan Watt tentang kaitan antara agama dengan sains. Pertemuannya dengan Ahmedi selama beberapa bulan cukup menjadi motivasi bagi Watt untuk mempelajari Islam lebih dalam.
Untuk memahami Islam lebih dekat, Watt pergi ke Yerusalem dan menjadi pendeta di sebuah gereja di sana. Kepergiannya ke Yerusalem di samping untuk tugas misi, ia juga ditugaskan oleh gereja Anglican untuk meneliti tentang “Pendekatan intelektual Terhadap Islam”. Setelah dua tahun di Yerusalem, dia mulai mengetahui banyak tentang bahasa Arab dan setelah kembali ke Universitas Edinburg dia menjadi anggota Arabic Departement bersama Richard Bell, guru Watt di bidang studi al-Qur’an.
Pada tahun 1944, Watt memperoleh gelar Doktor di bidang studi Islam dengan disertasi : Free Will and Predestination in Early Islam, di Universitas Edinburgh. Disertasi itu diterbitkan pada tahun 1949 dan pada tahun 1973 diterbitkan lagi dengan judul The Formative Period of Islamic Thought.
Watt seorang penulis yang amat produktif. Tidak kurang dari dua puluh bukunya tentang Islam ditulis sampai sekarang, Karya terbarunya adalah Islamic Fundamentalism and modernity ( 1988 ). M.V. Mc Donald mendaftar seluruh karya Watt sampai tahun 1979. Sekitar dua puluh buku, 113 artikel dan 173 resensi terhadap karya-karya sarjana Muslim dan Barat, beberapa buah karya terjemahan dan artikel entry dalam berbagai ensiklopedi. Karya-karya Watt hampir seluruhnya menyangkut studi Islam, meliputi: Sejarah, teologi, aliran modern, biografi dan tentang Nabi Muhammad dan al-Qur’an.


II


Salah satu bagian penting dalam pandangan watt adalah dialog intereligius Dalam masalah ini, Watt ingin menjalin saling pengertian antar pemeluk agama. Dasar pemikiran watt, adalah dia melihat dunia sekarang ini menuju ke “dunia yang satu”. Dia melihat, bahwa potensi yang kuat untuk membawa ke situasi yang harmonis adalah melalui agama. Karena itu adalah mungkin terjadi semacam sinkritisme agama.
Dialog intereligius dalam konsep Watt, dikhususkan pada hubungan antara Islam dan Kristen termasuk juga Yahudi. Menurut Watt, masing-masing agama itu memiliki daya “pertahanan “ dan -- kecuali agama Yahudi dan Hindu -- masing-masing agama mengklaim diri sebagai agama universal ditujukan kepada semua umat manusia.
Hakikat dialog manurut Watt, Sebagai upaya untuk saling mengubah pandangan antar penganut agama dan saling terbuka dalam belajar satu sama lain. Dalam hal ini Watt bermaksud menghilangkan sikap merendahkan agama seseorang oleh penganut agama yang lain serta menghilangkan ajaran yang bersifat apologis dari masing-masing agama. C.W. Troll mengomentari penjelasan Watt tersebut dalam tiga hal: (1) Masing-masing penganut agama saling mengakui bahwa mereka adalah pengikut Tuhan yang beriman, (2) sebagai konsekuensi dari yang pertama, perlu merevisi doktrin masing-masing agama untuk bisa membawa pada keimanan kepada Tuhan secara damai, (3) Melakukan kritik-kritik dan menghasilkan visi yang baru.
Watt berusaha melakukan reinterpretasi terhadap ajaran agama yang mengandung nada apologis terhadap agama lain. Watt dalam hal ini secara khusus melihat doktrin Islam yang bernada apologis terhadap agama Yahudi dan Kristen. Sebaliknya dia tidak mengemukakan doktrin-doktrin Yahudi dan Kristen yang bernada apologis terhadap Islam. Hal ini cukup dimaklumi karena agama Yahudi dan Kristen lebih dahulu muncul dari pada Islam. Islam adalah agama Semetik Abrahamik yang paling terakhir muncul. Karena itu bila dalam kitab suci Islam banyak memberikan kritikan terhadap kedua agama itu sebelumnya, adalah karena Islam muncul kemudian. Hanya generasi kemudian yang melakukan kritikan terhadap generasi yang lalu. Generasi yang lalu sulit melakukan kritikan terhadap generasi akan datang karena belum ada. Bila ada kritikan, lebih bersifat ramalan atau perkiraan ke masa depan. Karena itu, sejumlah penafsir Bibel memandang ada ayat dalam Bibel yang mengandung kritikan secara tak langsung kepada Islam, yang sifatnya ramalan. Dalam kitab Daniel 7:23-25 dinyatakan bahwa di masa akan datang akan muncul empat binatang, yakni empat kerajaan. Raja yang terakhir akan mengalahkan tiga raja lainnya. Raja yang keempat itu akan melawan Allah dan berusaha mengubah hukum Allah dan pesta agama. Menurut Sauthern, Alvarus seorang penafsir Bibel mengartikan raja yang keempat itu dengan Islam. Umat Kristen kini juga banyak melakukan kritikan terhadap Islam, tetapi kritikan itu adalah hasil interpretasi terhadap ayat-ayat Bibel kemudian dilihat perbedaannya dengan doktrin Islam. Perbedaan itu yang dibarengi dengan sikap ingin mengunggulkan doktrin Kristen kemudian dijadikan dasar untuk mengeritik ajaran Islam. Tetapi dalam ajaran Islam, memang terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang secara langsung memberikan kritikan terhadap doktrin agama Yahudi dan Kristen. Kritikan-kritikan langsung al-Qur’an tersebut yang ingin dinetralisir oleh Watt dengan melakukan penafsiran-penafsiran lain agar unsur kritikan al-Qur’an tidak nampak. Dengan jalan demikian menurut Watt sebagai cara untuk menciptakan hubungan harmonis antara umat Islam dengan agama lain, khususnya terhadap Yahudi dan Kristen.
Untuk membahas hal tersebut dikemukakan dua pandangan Watt mengenai kritikan Islam terhadap Kristen dan Yahudi yang kemudian dinetralisir (menghilangkan unsur kritikannya) yakni: (1) Tentang kritikan Islam terhadap ajaran trinitas dan penyaliban Yesus, (2) kritikan Islam bahwa Ahlul Kitab menyelewengkan kitab suci mereka.


III


1. Ajaran Tritunggal dan Penyaliban Yesus

Ada beberapa point dalam al-Quran yang dipandang bernada apologis, oleh Watt berusaha menghilangkan nada apologis tersebut dengan memberikan interpretasi menurut versi Watt sendiri. Menurut Watt, bila Al-Quran menentang adanya tiga Tuhan; Yesus dipandang sebagai Tuhan ke tiga dari tiga tuhan itu (5:73, 4:171), maka sebenarnya al-Quran tidak menentang ajaran trinitas dalam agama Kristen, tetapi menentang tritheistik. Penjelasan Watt tersebut dapat dipahami bahwa orang Kristen tidak pernah percaya pada adanya tiga Tuhan, yakni Tuhan Pencipta segala sesuatu. Dari segi Tuhan pencipta, maka Islam sama dengan Kristen: hanya satu Tuhan yaitu Allah yang menciptakan segala sesuatu. Karena itu menurut Watt bila Al-Quran menentang kepercayaan tiga Tuhan, sebenarnya bukan agama Kristen asli yang ditantang tetapi mungkin kelompok-kelompok bid’ah yang meyimpang dari ajaran Kristen yang sebenarnya.
Penjelasan diatas, Watt tidak memperhadapkan ajaran tauhid Islam dan Trinitas. Ajaran tauhid dalam Islam tidak mengakui adanya Tuhan pencipta selain Allah dan menolak tawassul dalam menyembah Allah . Watt di sini hanya menghubungkan ajaran Kristen dan Islam, bahwa satu-satunya pencipta segala sesuatu adalah Allah. Dalam hal ini Islam tidak apologis terhadap doktrin ketuhanan Kristen tersebut.
Tentang penyaliban Yesus, Watt memandang cerita peyaliban itu adalah hasil persepsi masyarakat di lingkungan Nabi Muhammad, tetapi secara esensial ajaran tentang penolakan penyaliban itu sejalan dengan ajaran Kristen tentang “kemenangan” Yesus Kristus. Penjelasan mengenai hal tersebut, Watt terlebih dahulu menjelaskan tentang perbedaan antara materi dan ajaran al-Qur’an.
Untuk melihat perbedaan antara materi dengan ajaran al-Qur’an, Watt merujuk pada kisah al-Qur’an, khususnya tentang penolakan penyaliban Yesus. Dalam ayat penolakan penyaliban Yesus tersebut mengandung ajaran yang sama dengan ajaran Kristen, tetapi berbeda dalam soal materi ceritanya.
Ajaran yang bersumber dari Tuhan melalui wahyu, misalnya mengkut soal etika. Ajaran etika tersebut mengandung kebenaran abadi yang bersumber dari Tuhan, akan tetapi ajaran tersebut diadaptasikan dengan lingkungan (milieu) tertentu. Al-Qur’an menolak penyaliban Yesus (Nabi Isa) seperti diceritakan dalam 4:157, tetapi menurut Watt penolakan tersebut bersumber dari suatu “ajaran” bahwa seorang Nabi harus unggul dalam menghadapi tantangan kaumnya, bahkan orang biasa tetapi adil dan benar harus menang dalam perjuangannya. Karena itu, Tuhan berpihak pad Nabi Isa dalam usaha menghadapi penganiayaan dari orang-orang Yahudi. Berkenan dengan ajaran tersebut, Watt mengatakan :
The validity of this “lesson” of the Qur’an may be maintained -- indeed is better maintained -- without claiming that it is a source of historical information about the first century AD. (Keabsahan “ajaran “al-Qur’an mungkin lebih dipertahankan --dan sesungguhnya lebih baik dipertahankan -- tanpa mengakui bahwa ia adalah sumber informasi sejarah pada sekitar abad pertama Hijriyah).
Penjelasan tersebut memperlihatkan, bahwa Watt mengakui kebenaran esensi “ajaran” yang terdapat dalam penolakan penyaliban Yesus, karena berarti bahwa ajaran al-Qur’an berpihak pada Yesus (Nabi Isa) dalam menghadapi penganiayaan orang-orang Yahudi, berati Yesus mendapat pertolongan dari Tuhan dan menang. Inti ajaran ini identik dengan ajaran Kristen, walaupun wujud (materi) ceritanya kontradiksi dengan dogma Kristen. Ajaran Kristen memandang bahwa justru penyaliban Yesus menunjukkan kemenangannya, sebab kematian Yesus ditiang salib adalah kemenangan yang diikuti dengan kebangkitannya di kemudian hari dan kelahiran gereja. Sebaliknya, ajaran al-Qur’an menyatakan bahwa tidak disalibnya Yesus adalah suatu kemenangan dan kegagalan orang Yahudi untuk menganiaya Rasul Tuhan. Cerita al-Qur’an menyatakan penolakan penyaliban Nabi Isa bersumber dari persepsi masyarakat yang diambil oleh Nabi Muhammad. Persepsi itu menyatakan bahwa pekerjaan seorang rasul tidak dapat berakhir dengan kekalahan. Jadi, menurut Watt “ajaran” yang terkandung dalam penolakan penyaliban Nabi Isa adalah wahyu dari Tuhan dan secara esensial identik dengan ajaran Kristen yaitu “kemenangan Yesus”, tetapi meteri ceritanya bersumber dari lingkungan masyarakat. Meteri cerita tersebut menurut agama Kristen, tidak benar.
Watt selanjutnya menjelaskan bahwa penolakan al-Qur’an terhadap penyaliban Yesus, pada hakikatnya memihak pada Kristen dan menolak kemenangan orang Yahudi atas orang Kristen. Watt dalam hal ini melihat kedekatan agama Islam dengan kristen dibandingan dengan Yahudi.
Al-Quran juga menyebutkan pernyataan Nabi Isa tentang akan datangnya seorang Rasul bernama Ahmad (61:6), yakni Muhammad, dengan perkataan itsmuhu ahmad. Bila pandangan ini diterima , dengan sendirinya menantang ajaran Kristen bahwa Yesus sebagai wahyu personal merupakan wahyu yang sempurna dan universal. Dengan kedatangan Nabi Muhammad, berarti mengurangi keuniversalan wahyu Kristen tersebut. Watt berpendapat bahwa kata “ahmad” dalam ayat tersebut bukan nama person ( meskipun terdapat kata ism = nama). Bagi Watt, kata tersebut adalah kata sifat, jadi tidak pasti menunjuk pada Nabi Muhammad. Watt mengakui Muhammad sebagai Nabi bukan dalam isyarat ayat tersebut tetapi dalam realitas ajaran yang dibawa yang menarik sebagian umat manusia. Menurut Watt, Kenabian Muhammad hanya setaraf dengan nabi-nabi dalam Bibel, perjanjian lama.


2. Kritikan al-Qur’an Tentang Ahlul Kitab Yang
Menyelewengkan Kitab Sucinya

Watt juga menghindari apologi Al-Quran, bahwa ahlul kitab telah menyelewengkan kitab suci mereka, sebagaimana dalam ayat : 4:46, 2:75 dan 5:13. dalam ayat-aya tersebut dengan tegas dikemukakan kata yuharrifuna kalamallah ( mereka mengubah perkataan Allah). Dalam kaitan ini Watt Menjelaskan: It makes clear allegations of the concealment of passages. It also makes the accusation of tahrif (“corrupting”or “ alteration”), but by this it does not mean tempering with the written text (except perhaps in copying it), but...the employment of various tricks in the course of dealing with muslim. (Al-Quran jelas membuat alasan yang diada-adakan tentang menyembunyikan ayat-ayat ( dalam bibel).Al-Quran juga membuat tuduhan tentang tahrif (“penyelewengan” atau “perubahan”), tetapi ini tidak berarti mengubah teks yang tertulis... melainkan melakukan tipu muslihat selama berhadapan dengan orang Islam).
Watt mengartikan kata yuharrifuna dengan tipu muslihat adalah sangat tidak relevan, sebab ayat tersebut berbicara tentang kalam Allah, bukan berbicara tentang ketegangan hubungan orang Islam sengan Ahlul kitab. Interpetasi Watt cenderung bias karena keluar dari konteks tema ayat tersebut. Alasan lain yang dikemukakan Watt tentang tidak mungkinnya orang-orang Yahudi meyelewengkan kitab suci mereka, karena mereka juga sering dipuji oleh Allah dan diberi nikmat yang banyak serta diampuni segala kesalahan mereka (2:58). Tetapi konteks ayat terebut ditujukan kepada orang Yahudi yang taat kepada ajaran Nabi Musa.
Meskipun Watt berusaha menghindari apologi al-Quran tetapi secara tidak langsung mengakui adanya apologi tersebut. Menurut Watt, apologi terjadi berkaitan dengan situasi orang Yahudi dan Kristen pada masa Nabi Muhammad. Mereka tergolong kelompok lemah, sementara umat Islam kuat dan superior. Dalam posisi yang demikian itu, umat Islam melancarkan kritikan terhadap kedua agama tersebut.
Di sisi lain, Watt ingin mengubah persepsi negatif orang Kristen terhadap Islam, meskipun hanya dalam taraf tertentu. Watt mengakui kenabian Muhammad, Meskipun disetarafkan dengan Nabi-nabi dalam Perjanjian Lama. Dia juga mengakui Al-Quran sebagai firman Tuhan namun terdapat sejumlah kekeliruan di dalamnya. Kesamaan Islam dan Kristen menurut Watt adalah fungsi wahyu sebagai sarana komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Watt juga mengubah pandangan sarjana Barat lainnya, khususnya Bell, Guru Watt yang memandang al-Quran yang ada sekarang tidak otentik lagi. Bagi Watt, al-Quran yang ada sekarang otentik, tidak pernah mengalami perubahan apa yang diterima dari Nabi.
Dari pandangan Watt tersebut di atas, dapat diketahui bahwa konsep intereligius menurut Watt adalah berusaha menghilangkan saling apologi dari kedua agama itu. Akan tetapi dalam penafsiran Watt, cenderung bias, sebagaiman di jelaskan oleh C.W. Troll, bahwa Watt sendiri mengakui kebiasannya dalam konsepnya mengenai usaha menjalin hubungan yang harmonis antara Islam dengan Kristen. Namun, Bagi Watt usahanya itu dipandang positif sebagai kerangka dasar dalam menjalin hubungan harmonis bagi kedua agama itu.






IV

Tinjauan


Pandangan Watt tentang dialog Interreligius berusaha menghilangkan nada kritikan al-Qur’an terhadap doktrin kristen. Maksud Watt adalah ingin menjalin keharmonisan untuk mewujudkan singkritisme antara agama Islam dengan agama Kristen. Namun Watt tampak bias dalam interpretasinya.
Masalahnya adalah dapatkah agama-agama itu disinkritiskan? Dalam setiap agama ada doktrin yang fundamental sebagai keyakinan pokok masing-masing agama. Agama Islam meyakini al-Quran sebagai wahyu yang mutlak kebenarannya yang merupakan wujud kitab Allah yang terakhir. Agama Kristen meyakini Yesus Kristus sebagai kalam Tuhan, sebagai wahyu sempurna dan agama Yahudi meyakini wahyu yang dibawa Nabi Musa sebagai kesempurnaan janji Tuhan kepada bangsa Israil. Ajaran-ajaran fundamental dalam masing-masing agama itu menjadi sumber doktrin dan daya pertahanan yang diyakini secara mutlak oleh penganutnya. Ajaran fundamental tersebut dapat menjadi sumber apologi bila dijadikan dalih dalam menyoroti keyakinan agama lain.
Untuk menciptakan dialog Interreligius, keyakinan fundamental dalam agama-agama itu tidak perlu direduksi atau menghilangkan nada yang bersifat kritikan terhadap agama lain, sebab mempunyai fungsi “interen” untuk memperkuat keyakinan penganut agama itu. Jadi, apa yang bersifat kritikan terhadap agama lain itu ditempatkan sebagi kebutuhan internal masing-masing penganut agama bukan untuk tujuan apologi yang bisa merusak hubungan antar pemeluk agama.
Untuk mendialogkan Islam keluar, al-Quran sudah memberikan petunjuk sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Ankabut ayat 46 yang artinya: “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka ( yang melakukan permusuhan) dan katakanlah : “kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kamu ; Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu; dan kami hanya kepadanya berserah diri”.
Berdebat dengan cara yang baik adalah dengan tidak menyinggung dan merendahkan keyakinan agama penganut lain (Ahlul Kitab) yang bisa membawa ketegangan sosial. dalam surah al-Kafirun 6 juga telah ditegaskan: yang artinya: “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. ini berarti Islam mengakui eksistensi agama-agama lain dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebab turunnya surah al-Kafirun tersebut bukan sebagi jawaban polemik antara Nabi Muhammad dengan Yahudi dan Kristen tetapi merupakan polemik dengan orang-orang musyrikin Mekah. Dalam sala satu riwayat dijelaskan bahwa orang-orang kafir Mekah berkata kepada Nabi Muhammad : “Jika engkau (Muhmammad) tidak keberatan mengikuti sembahan kami selama satu Tahun, maka kami pun mengikuti sembahanmu selama satu tahun” lalu turun surah tersebut sebagai jawaban atas tawaran orang kafir Mekah itu”
Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagi kelanjutan agama sebelumnya (Yahudi dan Kristen ), secara geneologis paling dekat dengan agama-agama Semetik Abrahamik. Karena itu al-Quran tidak melakukan sikap eksklusifistik total terhadap kedua agama itu. Al-Quran menjelaskan bahwa orang Yahudi dan Nasrani, orang Sabi’in yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta beramal saleh maka Allah memberi pahala kepada mereka ( 2:62) bahkan al-Quran menyatakan bahwa orang Nasrani lebih dekat pada orang beriman (muslim) dibanding dengan orang Yahudi dan musyrikin karena keduanya melakukan permusuhan besar kepada Islam (5:82). Akan tetapi di sisi lain al-Quran mengajak Ahlul Kitab tersebut untuk mengimani kalimat yang sama (tauhid). Namun bila mereka tetap dalam keyakinannya, Islam tetap menghargai mereka dalam pergaulan sosial, tanpa mempertentangkan perbedaan fundamental yang menjurus pada pertikaian.
Cardinal Francis Arinze menjelaskan bahwa perbedaan-perbedaan fuundamental dalam agama tidak perlu ditampilkan dalam menciptakan dialog interreligius. Yang perlu ditonjolkan adalah relevansi masing-masing agama untuk membela keadilan, kedamaian, pembangunan dan pengembangan spiritual manusia, khususnya dalam menentang kebudayaan materialisme yang melanda dunia. D. Kerr menjelaskan bahwa dalam dialog interreligius perlu dihilangkan saling kecurigaan antara penganut agama (beliau khususkan pada hubungan Islam Kristen), menghilangkan situasi yang saling tidak memahami, antagonisme dan konflik terbuka. sebagaiman diperintahkan oleh Musa dalam Kitab Keluaran 20:16: “janganlah kamu mengucapkan saksi dusta dengan sesamamu”.
Dalam konferensi Islam yang dilaksanakan di Tunisia tahun 1986 juga menganjurkan perlunya mengembangkan dialog Islam-Kristen dengan menonjolkan segi-segi spiritual masing-masing agama dalam menghadapi kemajuan ilmu-ilmu empiris dan teknologi materialistis. sisi spritual masing-masing agama bertujuan mengimbangi kecenderungan tersebut agar manusia hidup dalam pola kehidupan yang berimbang antara material dan spiritual.
Dalam situasi-situasi tertentu seperti halnnya yang telah terjadi dalam sejarah, dialog-dialog yang cenderung bersifat kritikan terhadap agama lain sering juga terjadi. Bila keadaan seperti ini terjadi, maka al-quran memberi petunjuk agar berdialog dengan cara yang baik, sebagaiman dalam ayat 46 surah al - Ankabut diatas.
Dalam kaitan itu pula, Syed Vahiduddin menjelaskan sebagai berikut :

The diversity of religion is thus recognised by Islam as a part of providence. Though the quran urges humankind to follow the straight parth which it prescribes, it recognised that no human effort can change the order of the world in which belief and unbelief co-exist.

(Keanekaan agama diakui oleh Islam sebagai bagian dari pemeliharaan Tuhan. Meskipun al-Quran mengajak manusia untuk mengikuti jalan yang benar sebagaimana yang ia anjurkan, tetapi al-Quran mengakui bahwa tidak ada usaha manusia yang dapat mengubah dunia yang di dalamnya orang percaya dan orang yang tidak percaya hidup berdampingan).
Berkenaan dengan itu, Islam menandaskan bahwa seseorang tidak boleh memaksakan keyakinannya kepada orang lain sebagaimana yang dijelaskan dalam 10:99, yang artinya: “Dan jikalau Tuhan menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”
Larangan memaksakan keyakinan seorang muslim terhadap orang lain berarti Islam menghormati keyakinan agama lain, mengakui perbedaan sehingga tidak perlu dilakukan sinkritisme agama dengan menghilangkan perbedaannya yang fundamental.

























KEPUSTAKAAN


• Al-Qurthuby, Al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an, juz VIII (Qairo: Dar al-Kitab al-Arabiyah Li al-Taba’ah wa al Nasr, 1967).
• Beck, Herman L. “William montgomery Watt Geboren in 1909”, Paper, Leiden, 29 juni 1987.
• Brown, Stuard, “A First Step in a Dialogue on Spirituality: Impression of a Conference”, dalam Islamochristiana, No. 12, 1986.
• Francis Arinze, “Interreligious Dialogue at the Service of Peace”, dalam Islamochristiana, No. 13, 1987.
• Kerr, David R., “Christian Witness in Relation to Muslim Neighbours”, dalam Islamochriatiana, No. 10, 1984.
• Mcdonald V. Michael, “Bibliography : The Published works of William Montgomery Watt”, dalam Alford T. Welch dan Pierre Cachia (eds.), Islam : Past Influence and Present Challenge, Edinburgh University press,1979, h. 331-347.
• Ruthven, Melise, “The Christian With Unusual Sympathy for Islam : W. Montgomery Watt has combined Comitment to to the Episcopalean Church With Close Contact with Moslem”, Dalam Arabia: The Islamic World View, Oktober 1981
• Southern, R.W., Western View of Islam in the Middle Ages (Harvard University Press, 1962).
• Troll, Christian W. S.J. “Dialogue Between Islam and Christianity: W. Montgomery Watt Contribution”, dalam Vidyajyoti: Journal of Theological Reflection, Vol. XLIX, Jaunuari-Desember 1985).
• Vahiduddin, Syed, “Islam and the Diversity of Religion”, dalam Islam & Chriatian-Muslim Relation, Vol. 1 No. 1 Juni 1990.
• Watt, W.Montgomery Islamic Revelation in the Modern World, Edinburgh at the University press, 1969.
• Watt, W.Montgomery, “His Name is Ahmad”, dalam The Muslim World, N0. 43, 1953.
• Watt, W.Montgomery, “Self Image of Islam in the Qur’an and Later”, dalam Richard G. Hovannisian dan Speros Vryonis (eds.), Islam’s Understanding of Itself (Malibu, California: Undena Publications, 1983).
• Watt, W.Montgomery, “The Christianity Critized in the Qur’an”, dalam The Muslim World, No. 57, 1967.
• Watt, W.Montgomery, “The Early Development of the Muslim Attitude to the Bible”, dalam Transaction Glasgow University Oriental Society (Herford: Stephen Austin & Son Limited, 1957).
• Watt, W.Montgomery, “The Problems Before Islam Today”, dalam The Islamic Literature ,Vol. V, No. 10 Oktober 1953.
• Watt, W.Montgomery, “Thouhgts on Muslim-Christian Dialogue”, dalam Hamdard Islamicus, Vol. I, No, I 1978.
• Watt, W.Montgomery, “Toward a World Religion” dalam The Islamic Literatuure, Vol. VIII, No. 5-6, Mei-Juni 1956.
• Watt, W.Montgomery, Islamic Revelation in the Modern World (Edinburgh at the University Press, 1969).

METODE PENDEKATAN BARAT

PENDEKATAN TEOLOGIS ISLAMOLOG BARAT
DALAM STUDI ISLAM
Oleh: Moh. Natsir Mahmud

A. Sekelumit Tentang Pendekatan Teologis

Teologis (berasal dari bahasa Yunani: theos = Tuhan dan logos = ilmu), adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungan Tuhan dengan realitas dunia. Dalam pengertian klasik, segala pembicaraan mengenai Tuhan disebut teologi. Persoalan pokok dalam teologi adalah menyangkut sifat/hakikat Tuhan dalam kaitannya dengan pengalaman manusia.
Teologi juga merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mememuhi kriteria saintifik. Apa yang disebut saintifik adalah menggunakan akal dengan kekuatan analisisnya, generalisasinya serta hukum-hukum penarikan kesimpulan, induksi, deduksi terhadap data pengalaman. Dalam cara ini dapat ditemukan hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang mendasari dan mengaitkan fakta dan fenomena yang disajikan serta menyatukan seluruh isi pengalaman ke dalam satu sistem yang koheren secara keseluruhan. Dengan cara itu dapat digambarkan sebagai pengetahuan mengenai realitas . Teologi menurut D.S. Adam memenuhi kriteria tersebut dengan menganalisis dan mensistematisasikan fakta-fakta dan pengalaman manusia yang beragam dalam hubungannya dengan Tuhannya.
Akan tetapi ada faktor yang membedakan secara mendasar antara teologi dengan ilmu pengetahuan lainnya, yaitu teologi mendasarkan diri pada wahyu dan/atau doktrin-doktrin keagamaan, sedangkan ilmu pengetahuan lain, akal dan indera merupakan sumber epistemologinya. Namun demikian, teologi juga menggunakan akal, tetapi fungsi akal sebagai instrumen untuk dapat menangkap, menganalisis dan mensistematisasikan apa yang diperoleh melalui wahyu. Dengan demikian, teologi menurut Hill bukan iman atau kepercayaan, tetapi argumentasi pemikiran manusia untuk mendukung keimanannya. Sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan agama, teologi menurut Lonergan menggunakan metode transenden yang terjadi dalam empat tahap yaitu: Mengalami, memahami, menilai dan memutuskan. Pengalaman merupakan data keagamaan, pemahaman berarti menghayati makna-makna, penilaian adalah mencari atau mengukuhkan kebenaran dan putusan adalah pengakuan (komitmen) terhadap nilai. Komitmen pada nilai (agama) diterima sebagai suatu norma yang perlu dipertahankan.
Agama sebagai obyek penelitian mempunyai dua aspek, yaitu aspek historis dan aspek normatif. Aspek historis menjadi obyek penelitian sejarah agama dan fenomenologi historis, sedangkan aspek normatif muncul sebagai kekuatan batin yang memberikan pengakuan akan “kebenaran” untuk mengatur kehidupan individu dan sosial. Aspek normatif tersebut merupakan tugas teologi. Joachim Wach menjelaskan bahwa tugas utama teologi adalah untuk meneliti, memperkuat dan mengajarkan keimanan dalam suatu komunitas keagamaan serta mengobarkan semangat dan gairan untuk mempertahankan dan menyebarluaskan keimanan. Di tempat lain, Wach menjelaskan: “Theology has its own task in identifiying its own confessinal norms, and none may take this task from it. Theology is concern with understanding and conforming its own faith”. (Teologi mempunyai tugasnya sendiri untuk mengidentifikasikan norma-norma yang menjadi pengakuannya, tidak ada yang mungkin mengambil alih tugas itu. Teologi cenderung pada pemahaman dan memenuhi keimanannya).
Karena teologi berpijak pada norma keagamaan untuk mengukuhkan keimanan dan membangkitkan semangat dan gairah beragama, maka teologi seperti halnya etika termasuk ilmu normatif.
Usaha memperkokoh keyakinan agama dalam teologi kadang-kadang mengambil sikap apologis, yakni seseorang yang menggunakan pendekatan teologi dalam membahas agama lain, menyerang keyakinan agama lain untuk memperkokoh keyakinan agama penulis itu.
Akan tetapi tidak semua pendekatan teologi bersifat apologis. Ada pendekatan teologi yang bertujuan dialogis dan ada yang bersifat teologi konvergensi. Teologi dialogis mengkaji agama-agama dengan berupaya mencari perbedaan-perbedaan pandangan dan diktrin keagama masing-masing agama, tetapi di sisi lain juga melihat kesesuaian-kesesuaian yang memungkinkan terjadi saling mengakui masing-masing. Pendekatan yang bersifat teologi konvergensi, tidak lagi melihat perbedaan-perbedaan dalam doktrin agama-agama tetapi melihat intisari agama-agama yang memiliki kesamaan masing-masing.
Dalam penelitian ini akan dikaji ketiga macam pendekatan teologi tersebut.

B. Beberapa Corak Pendekatan Teologis
Berikut ini dikemukakan beberapa corak pendekatan teologis yang digunakan oleh para orientalis dalam studi Islam, sebagai berikut:

1. Pendekatan Teologi Apologis
Pendekatan teologi apologis, antara lain dikemukakan pandangan Duncan Black McDonald terhadap Islam. McDonald berasal dari Glasgow, Inggeris. Karir akademiknya mulai tahun 1892 - 1925 di Hartford Theological Seminary, secara khusus mengambil spesialisasi di bidang misionaris. Ia menjadi konsultan dan Guru Besar di bidang Muhammadanisme (studi Islam) sampai masa wafatnya di tahun 1943. Ia menulis lima buah buku, tiga buku tentang Islam dan dua lainnya tentang agama Yahudi. Ia juga banyak menulis artikel di berbagai jurnal, misalnya The Muslim World dan tulisan entri bi berbagai ensiklopedia.
Dengan menggunakan pendekatan teologi apologis, McDonald memandang Islam sebagai agama yang gagal. Gordon E. Pruett mengomentari pandangan McDonald tersebut sebagai berikut:

The failure of Islamic prophecy required a Christian responce, the missionary effort. This effort was not to be merely humanitarian -- though it certainly was to be that -- but also theological and evangelical. McDonald believed that Muslims are imperiled in the modern world ( a situation not solely of their own making); Christianity -- and Christian civilization sweetened by the Gospel -- could save them. The missionary effort was the effective arm of Christian theology and the proper response of Christians to the failure of Islam).

(Kegagalan kenabian Islam memerlukan respons Kristen, yakni upaya-upaya misionaris, upaya tersebut bukan hanya demi kemanusiaan -- meskipun memang juga demikian adanya -- tetapi juga memerlukan upaya teologis dan pekabaran Injil. McDonald percaya bahwa umat Islam membahayakan dunia modern, -- dan peradaban Kristen yang dihiasi oleh Injil -- maka hanya Kristen yang dapat menyelamatkan mereka. Usaha missionaris adalah senjata yang efektif dari teologi Kristen dan respons Kristen lebih tepat untuk mengatasi kegagalan Islam).

Tentang eksistensi Islam, McDonald berpendapat bahwa Islam pada mulanya adalah ajaran Kristen yang diselewengkan (heresy) oleh keadaan patologis (penyakit jiwa) Muhammad (“Islam is in fact a kind of Christian heresy proclaimed by a pathological case”).
Menurut McDonald, Islam adalah bagian dari pikiran ketimuran. Karakteristik pemikiran ketimuran menurut-nya ada dua yaitu:
1. Pikiran ketimuran sedikit menghargai fakta dan diikuti oleh pantasi yang bebas tetapi di sisi lain terkungkung.
2. Pikiran ketimuran tidak menghargai kebebasan berpikir dan kebebasan intelektual.
Pandangan McDonald tersebut menggabungkan antara pendekatan teologis dengan bias rasial. Menurutnya, bangsa Barat memahami kehidupan keagamaan Islam dalam dua hal:
1. Inability to see life steadily, and see it whole, to understand that a theory of life must cover all the facts.
2. Liability to be stampeded by single idea and blinded to everything else --- therein, I believe, is the difference between the East and the West.

(1. Ketidak mampuan melihat kehidupan dengan cara yang bermanfaat, serta tidak mempu melihat secara menyeluruh, untuk dapat memahami bahwa sebuah teori tentang kehidupan harus mencakup seluruh fakta.
2. Kecondongan untuk terperangkap oleh idea tunggal dan buta terhadap sesuatu yang lain --- dalam hal ini saya percaya bahwa itu merupakan perbedaan antara Timur dan Barat).

Mengenai pandangannya tentang Nabi Muhammad, McDonald memandang Nabi Muhammad adalah orang yang tidak tercerahkan oleh roh kudus sehingga tindakannya jauh dari kebenaran. Dalam kaitannya dengan peroleh wahyu, McDonald menggambarkan Nabi Muhammad sebagai berikut:
... there is another source which is open to us and which, with one exception [the individual is not named, although it is probably either Ibn Khaldun or al-Ghazali] has been entirely neglected by Muslims. It is the study of the parallels which appear in the case of what we call now a days trance-mediums; the phenomena exhibited by those mediums who enter a trance, speak in that trance, and give signs in one way or another while in a hypnotic state. In such cases, I have no question, is really to be found the clue to Muhammad.

(... ada sumber lain yang terbuka bagi kita, dan dengan suatu kekecualian [secara pribadi tidak diketahui namanya, sungguhpun bukan Ibnu Khaldun dan bukan pula al-Ghazali] yang ditolak sama sekali oleh orang Islam. Penyelidikan itu selaras yang nampak dalam suatu kasus dari apa yang kita sebut sekarang ini dengan masa-masa tak sadar diri [trance-mediums]; fenomena yang diperlihatkan oleh medium itu orang memasuki keadaan tak sadar, berbicara dalam kondisi tak sadar dan memberikan tanda-tanda dalam satu atau lain cara bila ada dalam suatu situasi hipnotis. Dalam hal seperti ini saya tidak mempersoalkan, adalah benar-benar didasarkan atas renungan Muhammad).

Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa menurut McDonald, Nabi Muhammad menerima wahyu dalam situasi trance-medium atau semacam kesurupan. McDonald mau mendasarkan pandangannya pada pendapat seorang muslim tetapi tidak diketahui siapa tokoh Islam yang berpandangan seperti itu.
McDonald memandang Nabi Muhammad adalah seorang ahli sastra yang tidak tersaingi. Kemampuan sastranya yang tinggi, sehingga ia mampu menciptakan karya sastra seperti al-Qur’an. Karena itu apa yang disebut wahyu al-Qur’an adalah produk pikiran Muhammad. Muhammad mereproduksi wahyu tidak lepas dari suasana psikologis yang mengalami kasus patologis. Dalam suasana patologis itu, Muhammad berada dalam keadaan tak sadar diri (trance), sehingga merasa mendapatkan wahyu. Untuk mencapai hal tersebut Muhammad hidup menyerupai kahin atau semacam tukang tenung (soothsayer). Karena itu menurut McDonald, wahyu yang diperoleh Muhammad melalui semacam pengalaman mistik.
Pandangan McDonald tersebut dengan sendirinya memandang al-Qur’an sebagai ciptaan Muhammad, bukan wahyu dari Allah.

2. Pendekatan Teologi Dialogis
Hans Küng adalah seorang Islamolog Barat (dari Jerman) yang juga banyak mengkaji tentang Islam. Dalam berbagai tulisannya ia menggunakan pendekatan teologis, yakni bertolak dari perspektif teologi Kristen dalam melihat Islam, tetapi perspektif teologis tersebut tidak digunakan untuk apologis melainkan untuk dialog antara Islam dan Kristen.
Küng menyajikan pandangan-pandangan teologi Kristen dalam melihat eksistensi Islam mulai dari pandangan teologis yang intoleran sampai pada pandangan yang toleran, yang saling mengakui eksistensi masing-masing agama. Tujuan Küng adalah untuk menciptakan mutual-understanding antara kedua agama, tetapi dengan tidak mendasarkan diri pada konsep konvergensi agama yang berakar pada filsafat perenialisme.
Sebelum memasuki pandangan teologis, Küng memberikan gambaran umum tentang Islam, sebagai berikut:

All too often, Christian ... still look upon Islam as a vast monolith, a closed religious system, rather than as a living religion, a religious movement that has experienced constant change over the centuries and has acquired a high degree of inner diversity, a faith shared be concrete men and women with a broad spectrum of attitudes and feelings. The task for today is slowly to understand from within why Muslims look upon God and the world, the worship of God and the service of man, politics, law, and art thorough different eyes and a different sensibility than do, for example, Christians. Nad the first thing which must be understood is that for Muslims, even today, Islam as a religion is not just another compartment of life, or what secular-minded people like to call “ the religious factor”, alongside other “cultural factors”. On the Contrary, here we find life and religion , religion and culture woven into the living web. Islam wishes to be an all-embracing view of life, an all-involving attitude toward life a way to eternal life: a way of salvation. Salvation? what can a Christian theologian respond to this claim?

(Hampir semua orang Kristen … masih melihat Islam sebagai agama monolitik, sebuah sistem keagamaan yang terbuka, lebih dari sekedar agama kehidupan, sebuah gerakan keagamaan yang mengalami terus menerus perubahan selama berabad-abad dan menghendaki keanekaan yang lebih dalam tingkat yang tinggi, sebuah agama yang memandang sama pria dan wanita secara konkrit dengan sebuah spektrum yang luas mengenai sikap dan perasaan. Usaha dewasa ini adalah pemahaman yang lamban dari dalam. Bagaimana orang Islam memandang Tuhan dan dunia, menyembah Tuhan dan pelayanan manusia di bidang politik, hukum dan seni melalui pengamatan yang berbeda dan sensibilitas yang berbeda dengan misalnya, pandangan orang Kristen. Dan hal yang pertama yang harus dipahami adalah, sekarang ini, bagi orang Islam, bahwa Islam sebagai bukan hanya bagian kehidupan atau apa yang orang-orang berpikiran sekuler menyebut “faktor keagamaan” yang berdampingan dengan “ faktor budaya”. Sebagai kebalikannya, di sini [dalam Islam] kita menemukan kehidupan dan agama, agama dan budaya teranyam ke dalam sebuah jaringan kehidupan. Islam menghendaki pandangan yang menyeluruh tentang kehidupan, sebuah determinasi menyeluruh tentang pandangan hidup -- dan dengan demikian, di tengah-tengah kehidupan temporal ini, suatu jalan untuk kehidupan yang abdi, yaitu jalan keselamatan. Keselamatan? Apakah teologi Kristen menghargai pengakuan seperti itu?)

Pertanyaan teologis yang diajukan Küng tersebut, yakni Apakah Islam merupakan jalan keselamatan? Pertanyaan ini menjadi titik tolak untuk melihat apakah Islam sebuah agama yang menyelamatkan penganutnya bila dilihat dari segi teologi Kristen. Küng mengemukakan pandangan teolog Kristen seperti Origen, Cyprian dan Agustinus yang mengeluarkan pernyataan yang terkenal dengan: Extra Ecclesiam nulla sulus, artinya tidak ada keselamatan di luar gereja . Konsili Florence di tahun 1442 mengeluarkan sebuah deklarasi yang menyatakan:

The holy Roman Church ... firmly believes, confesses, and proclaims that outside the Catholic church no one, neither heathen nor Jew nor unbeliever nor sehiematic will have a share in eternal life, but will rather, be subject to the everlasting fire which has been prepared for the devil and his angels, unless he attaches himself to her (the catholic church) before his death.

(Gereja suci Roma … dengan tegas percaya, mengakui dan menyatakan bahwa di luar gereja Katolik tidak ada orang, baik penyembah berhala, tidak pula bagi orang Yahudi, orang kafir maupun orang yang membuat perpecahan yang akan memperoleh kehidupan yang abadi, melainkan mereka menjadi orang yang bakal mendapat siksa yang kekal, yang memang telah dipersiapkan bagi orang yang berdosa beserta malaikatnya, kecuali ia memasuki [gereja Katolik] sebelum matinya).

Menurut Kung sampai tahun 1952 nada seperti tersebut di atas kembali lagi diungkapkan dalam sebuah kongregasi agama. Seorang pastor Katolik dari Harvard, Romo Leonard Feeney kembali menegaskan bahwa orang yang berada di luar gereja Katolik adalah orang yang terkutuk. Akan tetapi dalam konstitusi geraja tahun 1965) mengelurkan sebuah deklarasi sebagai berikut:

Men and Women who through no fault of their own do not know the Gospel of Christ and his church, but who sincerely search for God and who strive search for God and who strive to do his will, as revealed by the dictates of conscience, in deeds performed under the influence on his grace, can win eternal salvation.

(Laki-laki dan perempuan yang terus menerus tidak berbuat salah, menurut pandangannya sendiri, tidak memahami Kristus dan gereja, namun mereka dengan sungguh-sungguh berusaha mencari Tuhan dan berusaha keras melaksanakan apa yang menjadi hasratnya sebagaimana yang diinspirasikan oleh panggilan alam bawah sadarnya di dalam perbuatan yang dilakukan di bawah pengaruh maksud baiknya, mereka akan bisa meraih keselamatan yang abadi.)

Dari kutipan di atas berarti bahwa orang yang diluar gereja, meskipun tidak menganut sesuatu agama apapun, tetapi mereka tetap berbuat baik sesuai panggilan hati nuraninya yang bijak, maka mereka dapat meraih keselamatan.
Khusus pandangan Katolik terhadap Islam dinyatakan juga dalam sebuah konstitusi Gereja (1965) dinyatakan bahwa:

God’s saving will also embrances those who acknowledge the Creator, and among them especially the Muslems, who profess the faith of Abraham and together with us adore the one God, the Marciful one, who will judge men on the last day.

(Penyelamatan Tuhan juga diberikan kepada orang yang mengakui adanya pencipta (Tuhan) dan di antara mereka khususnya orang yang beragama Islam, yakni umat yang mengakui {agama} Ibrahim dan bersama-sama dengan kita memuja satu Tuhan, Tuhan yang Maha Pengasih dan mengadili manusia di hari kemudian).

Penjelasan Kung tersebut di atas menunjukkan bahwa terdapat perkembangan presepsi teologis Kristen khususnya Katolik terhadap Islam, mulai dari penolakan sebagai agama yang membawa keselamatan (1952) sampai adanya pengakuan bahwa Islam sebagai agama yang menyelamatkan umatnya (1965). Dalam posisi seperti itu, agama Katolik memberikan pengakuan teologis terhadap Islam sehingga Islam sehingga dapat terjadi dialog yang konstruktif antara kedua agama.
William Montgomery Watt lahir di Edinburg, Skotlandia tahun 1909. Salah satu bagian penting dalam pandangan watt adalah dialog intereligius . Dalam masalah ini, Watt ingin menjalin saling pengertian antar pemeluk agama. Dasar pemikiran watt, adalah dia melihat dunia sekarang ini menuju ke “dunia yang satu”. Dia melihat, bahwa potensi yang kuat untuk membawa ke situasi yang harmonis adalah melalui agama. Karena itu adalah mungkin terjadi semacam keharmonisan agama-agama.
Dialog intereligius dalam konsep Watt, dikhususkan pada hubungan antara Islam dan Kristen termasuk juga Yahudi. Menurut Watt, masing-masing agama itu memiliki daya “pertahanan “ dan -- kecuali agama Yahudi dan Hindu -- masing-masing agama mengklaim diri sebagai agama universal ditujukan kepada semua umat manusia.
Hakikat dialog manurut Watt, Sebagai upaya untuk saling mengubah pandangan antar penganut agama dan saling terbuka dalam belajar satu sama lain. Dalam hal ini Watt bermaksud menghilangkan sikap merendahkan agama seseorang oleh penganut agama yang lain serta menghilangkan ajaran yang bersifat apologis dari masing-masing agama. C.W. Troll mengomentari penjelasan Watt tersebut dalam tiga hal: (1) Masing-masing penganut agama saling mengakui bahwa mereka adalah pengikut Tuhan yang beriman, (2) sebagai konsekuensi dari yang pertama, perlu merevisi doktrin masing-masing agama untuk bisa membawa pada keimanan kepada Tuhan secara damai, (3)Melakukan kritik-kritik dan menghasilkan visi yang baru yang bisa terjadi keharmonisan.
Watt berusaha melakukan reinterpretasi terhadap ajaran agama yang mengandung nada apologis terhadap agama lain. Watt dalam hal ini secara khusus melihat doktrin Islam yang bernada apologis terhadap agama Yahudi dan Kristen. Sebaliknya dia tidak mengemukakan doktrin-doktrin Yahudi dan Kristen yang bernada apologis terhadap Islam. Hal ini cukup dimaklumi karena agama Yahudi dan Kristen lebih dahulu muncul dari pada Islam. Islam adalah agama Semetik Abrahamik yang paling terakhir muncul. Karena itu bila dalam kitab suci Islam banyak memberikan kritikan terhadap kedua agama itu sebelumnya, adalah karena Islam muncul kemudian. Hanya generasi kemudian yang melakukan kritikan terhadap generasi yang lalu. Generasi yang lalu sulit melakukan kritikan terhadap generasi akan datang karena belum ada. Bila ada kritikan, lebih bersifat ramalan atau perkiraan ke masa depan. Karena itu, sejumlah penafsir Bibel memandang ada ayat dalam Bibel yang mengandung kritikan secara tak langsung kepada Islam, yang sifatnya ramalan. Dalam kitab Daniel 7:23-25 dinyatakan bahwa di masa akan datang akan muncul empat binatang, yakni empat kerajaan. Raja yang terakhir akan mengalahkan tiga raja lainnya. Raja yang keempat itu akan melawan Allah dan berusaha mengubah hukum Allah dan pesta agama. Menurut Sauthern, Alvarus seorang penafsir Bibel mengartikan raja yang keempat itu dengan Islam. Umat Kristen kini juga banyak melakukan kritikan terhadap Islam, tetapi kritikan itu adalah hasil interpretasi terhadap ayat-ayat Bibel kemudian dilihat perbedaannya dengan doktrin Islam. Perbedaan itu yang dibarengi dengan sikap ingin mengunggulkan doktrin Kristen kemudian dijadikan dasar untuk mengeritik ajaran Islam. Tetapi dalam ajaran Islam, memang terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang secara langsung memberikan kritikan terhadap doktrin agama Yahudi dan Kristen. Kritikan-kritikan langsung al-Qur’an tersebut yang ingin dinetralisir oleh Watt dengan melakukan penafsiran-penafsiran lain agar unsur kritikan al-Qur’an tidak nampak. Dengan jalan demikian menurut Watt sebagai cara untuk menciptakan hubungan harmonis antara umat Islam dengan agama lain, khususnya terhadap Yahudi dan Kristen.
Di sisi lain, Watt ingin mengubah persepsi negatif orang Kristen terhadap Islam, meskipun hanya dalam taraf tertentu. Watt mengakui kenabian Muhammad, Meskipun disetarafkan dengan Nabi-nabi dalam Perjanjian Lama. Dia juga mengakui Al-Quran sebagai firman Tuhan namun terdapat sejumlah kekeliruan di dalamnya. Kesamaan Islam dan Kristen menurut Watt adalah fungsi wahyu sebagai sarana komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Watt juga mengubah pandangan sarjana Barat lainnya, khususnya Bell, Guru Watt yang memandang al-Quran yang ada sekarang tidak otentik lagi. Bagi Watt, al-Quran yang ada sekarang otentik, tidak pernah mengalami perubahan apa yang diterima dari Nabi.
Pandangan Watt tentang dialog Interreligius berusaha menghilangkan nada kritikan al-Qur’an terhadap doktrin kristen. Maksud Watt adalah ingin menjalin keharmonisan untuk mewujudkan hubungan harmonis antara agama Islam dengan agama Kristen. Namun Watt juga kadang-kadang bias dalam interpretasinya.
Dalam kaitannya dengan kenabian Muhammad, pendekatan teologi Barat juga mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi yang disetarakan dengan nabi-nabi dalam Perjanjian Lama, yaitu nabi-nabi dari bangsa Israil. Dalam hubungan ini Hans Kung menjelaskan:

1. Like the prophets of Israel, Muhammad based his work not on any office given him by community (or its authority) but on a special, personal relationship with God.
2. Like the prophets of Israel, Muhammad was a strong-willed character, who saw himself as wholly penetrated by his divine vocation, totally taken up by God’s claim on him, exclusively absorbed by his mission.
3. Like the prophets of Israel, Muhammad spoke out amid a religious and social crisis. With his passionate piety and his revolutionary preaching, he stood up against the wealthy ruling class and the tradition of which it was the gardian.
4. Like the prophets of Israel, Muhammad, who usually calls himself a “warner”, wished to be nothing but God’s mouthpiece and to proclaim God’s word, not his own.
5. Like the prophets of Israel, Muhammad tirelessly glorified the one God, who tolerates no other gods before him and who is, at the same time, the kindly Creator and marciful Judge.
6. Like the prophets of Israel, Muhammad insisted upon unconditional obedience, devotion and “submission” (the literal meaning of “islam”) to this one God. He called for every kind of gratitude toward God and of generosity toward human being.
7. Like the prophets of Israel, Muhammad linked his monotheism to a humanism, connecting faith in the one God and his judgement to the demand for social justice; judgement and redemption, threats against the unjust, who go to hell, and promises to the just, who are gathered into God’s Paradise.

Artinya:
1. Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad mendasarkan pekerjaanya bukan sebagai tugas yang diberikan oleh masyarakat (atau berdasarkan otoritasnya sendiri) melainkan merupakan tugas istimewa, yakni sebagai hubungan pribadinya dengan Tuhan.
2. Seperti halnya nabi-nabi Israel, Muhammad adalah seorang yang memiliki sifat berkeinginan-kuat, yang melihat dirinya dirasuki secara keseluruhan oleh tugas ketuhanan yang keseluruhannya diperatasnamakan sebagai pengakuan Tuhan atas dirinya.
3. Seperti halnya nabi-nabi Israel, Muhammad berbicara di tengah-tengah krisis keagamaan dan sosial. Dengan jiwa kesalehan yang mendalam dan dakwahnya yang revolusioner, ia bangkit melawan kelompok penguasa kaya serta melawan tradisi yang menjadi pedoman.
4. Seperti halnya nabi-nabi Israel, Muhammad senantiasa menyebut dirinya sebagai “pemberi ingat” yang menghendaki tiada lain selain dia sebagai juru bicara Tuhan dan menyampaikan firman Tuhan, bukan dari dirinya.
5. Seperti halnya nabi-nabi Israel, Muhammad terus menerus mengumandangkan keesaan Tuhan, ia mentolerir tiada Tuhan selain dia dan dalam waktu yang sama, (Tuhan Yang Esa) adalah Pencipta yang Bijaksana serta Hakim yang pengampun.
6. Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad menekankan kepatuhan yang mutlak, ketaatan, dan “kepatuhan” (yang menjadi makna harfiah dari kata “Islam”) kepada Tuhan yang satu. Ia mengajak kepada setiap orang tentang sifat berterima kasih kepada Tuhan dan tentang sifat kemurahan Tuhan kepada umat manusia.
7. Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad menghu-bungkan ajaran monoteismenya dengan paham humanisme, menghubungkan iman kepada Tuhan Yang Esa serta pembalasan-Nya dengan tuntutan keadilan sosial; hukuman dan pengampunan, ia perang melawan ketidak adilan yang bisa membawa ke neraka, dan menegakkan keadilan yang bisa membawa ke surga Tuhan.

Pandangan Kung tersebut di atas menempatkan kenabian Muhammad seperti halnya nabi-nabi dalam Perjanjian Lama (di kalangan bangsa Israel) seperti: Nabi Amos, Hosea, Isaiah dan Jeremiah. Dalam perspektif teologi Kristen nabi-nabi tersebut lebih rendah derajatnya dibanding misalnya Paulus. Kung melihat aspek lain dari missi Muhammad – meskipun seandainya ada yang menolak kenabiannya – di mana ajarannya dapat mengubah hidup manusia. Dalam kenyataan sosiologis, nampak bahwa ajaran yang dibawa Muhammad mampu membentuk komunitas keagamaan, segingga sulit diabaikan begitu saja bahwa ia benar-benar membawa missi ketuhanan. Dalam kaitan ini Kung menjelaskan:

1. To this day nearly 800 million men and women living in the vast expanses from Marocco in the West to Bangladesh in the East, from steppes of Central Asia in the North to the island of Indonesia in the South, are all marked by the exacting power of a fith that, more than practically any other, has shaped its followers into a uniform type.
2. All these people are bound together by a simple confession of faith (“… there is no God but God, and Muhammad is his prophet”), by five basic duties (professing the faith, prayer, almsgiving, a month of fasting, pilgrimage to Mecca), by an all-pervasive resignation to the will of God (suffering, too, is to be accepted as an immutable, divine decision).
3. Among all these peoples there continues to be alive feeling for the fundamental equality of all human beings before God, and an international brotherhood that has managed to overcome barriers between the race (Arabs and non-Arabs).
Artinya:
1. Sekarang ini hampir 800 juta penduduk pria dan wanita hidup dalam wilayah yang luas dari Maroko di Barat sampai ke Banglades di Timur. Dari padang rumput Asia Tengah di Utara sampai ke kepulauan Indonesia di Selatan, semuanya ditandai oleh kekuatan dari sebuah agama yang tangguh lebih dari kekuatan praktis lainnya, telah membentuk pengikutnya dalam satu kesatuan bentuk.
2. Seluruh penduduk diikat oleh sebuah pengakuan iman yang sederhana (yaitu: “ Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasulNya”), oleh lima kewajiban dasar (yaitu: Pengakuan iman {syahadah}, shalat, zakat, puasa Ramadhan dan berhaji ke Mekkah), oleh sebuah sikap pasrah secara mendalam pada kehendak Tuhan (penderitaan juga diterima sebagai ketetapan, yakni putusan Tuhan).
3. Di antara semua penduduk ada kontinuitas pada sebuah perasaan hidup untuk kesamaan yang mendasar bagi seluruh umat manusia di hadapan Tuhan, dan sebuah persaudaraan internasional yang mengatur agar dapat diatasi rintangan-rintangan rasial (antara Arab dan non-Arab).
Dengan demikian, menurut Kung, Islam sudah menjadi kenyataan sebagai sebuah agama dengan doktrin-doktrinnya yang mengatur kehidupan penganutnya dalam sebuah komunitas keagamaan dengan komitmen yang mendalam dankepatuhan pada ajaran nabinya.
Bila dilihat dari segi pengakuan kitab Perjanjian Baru, Kung melihat bahwa Perjanjian Baru menegaskan akan adanya nabi yang otentik sesudah masa Yesus. Para pengikutnya mempercayainya dan mengikuti ajaranya, mereka menafsirkan dan menerjemahkan ajaran-ajarannya sesuai dengan era maupun situasi baru yang dihadapinya.
Dalam kaitannya dengan doktrin tentang wahyu, teologi Kristen mengakui dengan “pembenaran” terhadap wahyu di luar Kristen, sehingga wahyu dalam Islam pun mendapat “pembenaran” dari wahyu Kristen. Dalam kaitan ini Kung menjelaskan:

And it should not be overlooked that alongside such passages there are also more than a few positive statements about non Christian world, according to which God originally manifested himself to all Humanity. Non-Christian, too, the Bible says, can come to know the true God; they can recognize what the biblical texts themselves understand to be God’s revelation through creation.

Artinya:
Dan tidak dapat diabaikan bahwa ada sejumlah ayat (dalam Bibel) yang mengandung statemen positif tentang dunia non-Kristen. Menurut ayat tersebut, Tuhan memanifestasikan diri-Nya secara murni kepada semua umat manusia. Bibel menyatakan bahwa orang non-Kristen juga dapat mengetahui Tuhan dengan benar, mereka dapat mengakui apa yang dipahami sendiri oleh Bibel terhadap adanya wahyu Tuhan melalui makhluk.
Dari penjelasan tersebut menunjukkan bahwa ada kebenaran wahyu lain selain yang terdapat dalam Bibel. Selain Bibel ada wahyu yang bisa memperkenalkan manusia akan Tuhannya, karena Tuhan dapat memanifestasikan dirinya tidak saja kepada umat Kristen tetapi kepada semua umat manusia.
Karl Barth seorang teolog Kristen modern dalam berbagai karyanya menjelaskan adanya wahyu di luar Kristen.
Even Karl Barth was compelled to admit in the last complete volume (IV/3) of his monumental Church Dogmatics (1958) that alongside the one “light” of Yesus Christ (which he had laid so much stress on all his life) there were other “lights” deserving of honor, that a longside the one word of God there were true words: “profane” words from non-Christian, who also spoke, in their own way, of God’s grace, forgivenees, reconciliation, and human faith, …
Artinya:
Karl Bart pun sendiri terpaksa mengakui pada bagian akhir bab (IV/3) dalam karya monumentalnya, Church Dogmatics (1958) yang berkenaan dengan kepercayaan pada satu “sinar” Yesus Kristus (yang mana ia begitu banyak tekankan dalam seluruh kehidupannya), bahwa ada “sinar” lain yang pantas mendapat penghormatan, bahwa sepanjang adanya satu firman tuhan, maka ada firman lain yang benar, yaitu firman yang “profan” dari dunia non-Kristen. Firman tersebut juga berbicara dengan caranya sendiri, mengenai kasih sayang Tuhan, pengampun, perdamaian dan keimanan manusia, …

Penjelasan tersebut di atas menunjukkan adanya wahyu lain selain wahyu Bibel, namun wahyu Bibel dan wahyu-wahyu lainnya lebih rendah derajatnya dibanding wahyu dalam bentuk manusia yaitu wahyu diri Yesus Kristus sendiri.
Dengan demikian teologi Kristen mengakui eksistensi agama lain selain Kristen, bahkan pengakuan tersebut adalah pengakuan esensial, bukan sekedar pengakuan eksistensial saja.

3. Pendekatan Teologi Konvergensi

Wilfred Cantwell Smith (lahir tahun 1916) dapat dikategorikan menggunakan pendekatan teologi konvergensi. Berbagai teolog Kristen lainnya bila mengkaji agama lain, mereka melihat agama lain itu didasarkan pada perspektif Kristus dan perpektif gereja. Hasilnya bersifat apologis dan normatif karena perpektif Kristus dan gereja sebagai tolok ukur dalam melihat agama lain dan akan sulit berada pada posisi netral.
Dalam mengkaji agama-agama lain Smith tidak bertolak dari perspektif Kristus dan gereja tetapi bertolak dari perspektif ketuhanan (teosentris) dalam melihat agama lain. Smith melihat kecenderungan dunia masa depan menjadi konvergensi agama yang identik dengan pandangan filsafat perenialisme. J.W. Wainwright menjelaskan bahwa: “ .... Smith’s central conviction and hope -- his belief that the world’s religions are potentially convergent”. (... keyakinan dan harapan Smith -- adalah kepercayaannya bahwa agama-agama dunia potensial terjadi konvergensi). Pandangan konvergensi ingin menyatukan unsur-unsur esensial dalam agama-agama, sehingga tidak nampak lagi perbedaannya yang esensial. Dalam kondisi demikian, agama dan penganutnya dapat disatukan dalam satu konsep teologi universal dan umatnya disatukan dalam satu umat beragama. Smith menghendaki agar penganut agama-agama dapat menyatu bukan hanya dalam dunia praktis tetapi juga dalam pandangan teologis. Berkenaan dengan hal tersebut, Smith menjelaskan bahwa:

On the moral level, there follows an imperative towards reconciliation, unity, harmony, and brotherhood. At this level, all men are included: we strive to break down barriers to close up gulft we recognize all men as neighbours, as fellows as sons of the universal father, seeking Him and finding Him, being sought by Him and being found by Him. At this level, we do not become truly Christian until we have reached out towards a community that turns mankind into one total “we”.

(Pada level moral, adalah keharusan menuju rekonsiliasi, kesatuan, keharmonisan dan persaudaraan. Pada level tersebut semua orang tercakup [di dalamnya]: kita berupaya memecahkan rintangan, dan mendekatkan jurang pemisah. Kita menyadari bahwa semua manusia seperti hidup bertetangga sebagai pengikut putra dari Bapa universal [Tuhan], dimana manusia mencariNya dan menemukanNya. Mereka pun dicari olehNya dan menemukannya. Pada tingkat demikian, kita bukan lagi benar-benar sebagai seorang Kristen hingga kita tergolong ke dalam sebuah komunitas yang mengarahkan umat manusia ke dalam totalitas [dengan menyatakan] “kita”).

Pertanyaan yang timbul adalah di mana letak titik temu keyakinan agama-agama itu untuk mencapai sebuah konvergensi agama? Smith terlabih dahulu membedakan antara faith dengan belief.
Smith mengartikan faith dengan iman. Faith is transcendent aspect of religius (Faith adalah aspek transenden dalam agama). Dari aspek transenden itu, maka faith menghubungkan antara manusia dengan Tuhan, yang merupakan sentral atau titik pusat agama-agama. Tanpa faith akan menimbulkan nihilisme dan bisa membawa disintegrasi pribadi manusia sehingga merusak keutuhan diri manusia.
Namun demikian, faith tidak dapat dipisahkan dengan belief, tetapi secara substantif berbeda dengannya. Belief tidak dapat diartikan dengan iman, melainkan pandangan, teori dan persepsi mengenai apa yang diimani. Dalam kaitan ini Smith menjelaskan;

1. The object of faith used to be a person (God and Christ in the Christian case: Muslims must remember that in Christian understanding God is personal); the object of believing has come to be an idea, a theory;
2. The act of faith used to be a decision, the taking of a step, of cosmic self-commitment; the state of believing has come to be a descriptive, if not passive, condition.
3. The mood of faith use to involve one’s relation to absolutes, to realities of surpassing grandeur and surety; the mood of believing involves one’s relation to uncertainties, to matters of explicitly questionable validity.
Artinya:
1. Obyek faith biasanya terhadap person (Tuhan dan Kristus dalam agama Kristen: Umat Islam harus mengingat bahwa pemahaman orang Kristen tentang Tuhan bersifat personal); sedangkan objek believing adalah pada idea atau teori.
2. Tindakan faith bisanya dengan putusan dengan mengambil sebuah langkah mengenai komitmen-diri tentang kosmik; keadaan believing sudah menjadi deskriptif bahkan mungkin passif, terkondisikan.
3. Keadaan faith biasanya hubungan seseorang dengan yang absulut, dengan realitas yang tinggi lagi agung; keadaan believing adalah hubungan seseorang dengan yang berubah-ubah, kepada persoalan yang validitasnya masih dipertanyakan.
Penjelasan tersebut menunjukkan, bahwa faith sebagai iman dan intisari agama, obyeknya kepada person (langsung kepada Tuhan), sedangkan belief bersifat teoritis atau menyangkut ide-ide mengenai Tuhan. Karena itu faith berkaitan dengan yang absolut, sedangkan belief berkaitan dengan sesuatu relatif, masih dalam diskursus sehingga bisa menimbulkan aneka corak pendapat, bisa menimbulkan perbedaan dan diskusi yang serius di antara orang-orang yang memiliki belief yang berbeda pada satu obyek akidah tertentu.
Belief yang berada dalam wacana pemikiran akidah sebagai hasil kerja dari Ilmu Kalam atau Teologi di mana di dalamnya terdapat berbagai firqah (aliran) yang saling bertentangan dan menyerang satu sama lain. Dengan demikian, belief tidak dapat mempersatukan manusia dalam agama atau agama-agama menjadi “satu iman” untuk semua. Namun, perbedaan dalam belief tersebut lahir dari doktrin faith, karena itu keduanya tidak dapat dipisahkan secara mutlak karena belief bisa memperkuat faith, tetapi bila faith berada pada titik sentralnya yaitu transenden dan merasakan hubungan dengan Tuhan maka faith masing-masing agama dipersatukan.
Belief bersifat historik yang mungkin secara konseptual berbeda dari satu generasi ke generasi yang lain. Wainwrigh mengomentari pendapat Smith tersebut sebagai berikut: “Smith frequently calls our attention to the fact that the importance of belief, and in particular of doctrine or theology, varies from tradition to tradition”. (Smith seringkali menarik perhatian kita pada fakta mengenai pentingnya belief khususnya dalam doktrin-doktrin tertentu ataupun teologi yang bervariasi dari satu tradisi ke tradisi yang lain). Dalam belief itulah orang beragama berbeda-beda dan dari perbedaan itu akan menghasilkan konflik. Sebaliknya dalam faith umat beragama dapat menyatu. Smith mengemukakan semboyannya mengatakan: “The faith of all of us”, (Iman untuk kita semua). Jadi, orang bisa berbeda dalam belief tetapi menyatu dalam faith. Dalam ungkapan Smit menyatakan: “diverge in belief, converge in faith” (beraneka dalam belief, menyatu dalam faith). Sebagai contoh, dalam masyarakat Islam terdapat berbagai aliran teologis maupun aliran fikih. Mereka mungkin penganut Asy’ariyah atau mu’tazilah atau pengikut Imam Syafii atau Hambali. Belief mereka berbeda yang mungkin menimbulkan sikap keagamaan yang berbeda. Tetapi mereka tetap satu dalam faith (iman). Demikian pula antara penganut agama, mereka berbeda dalam belief dan respons keagamaan yang berbeda tetapi hakikatnya menyatu dalam faith. Perbedaan antara faith dengan belief tersebut, di mana faith merupakan esensi keberagamaan. Seseorang telah merasa dapat menyatukan agama-agama ke tingkat konvergensi.
Pandangan konvergensi tersebut yang menjadi dasar bagi Smith melahirkan teorinya mengenai “Theology of the World Religions” (Teologi Agama-Agama Dunia) atau dapat disebut Theoligi Universal. Dalam teologi tersebut dilakukan deintelectualized of faith atau menghilangkan elemen intelektual dalam iman sehingga yang ada hanya penghayatan batin atau terkaan intuitif terhadap Realitas yang diimani.

Tinjauan Umum

Dari uraian yang lalu dapat dilihat bahwa pendangan Barat tentang Islam yang menggunakan pendekatan teologis terdapat nilai positif maupun negatifnya. Pandangan McDonald bahwa Nabi Muhammad mengalami kasus patologis, semacam kelainan jiwa tidak mempunyai alasan yang kuat karena dalam kenyataannya, Nabi Muhammad dalam waktu relatif singkat mampu mendapatkan pengikut dan simpatisan yang banyak. Charles J. Adams sangat menolak pandangan Barat lainnya yang memandang Nabi Muhammad terkena penyakit histeria dan epilepsi. Dalam salah satu tulisannya, Adams menjelaskan:

These views are no longer tenable, however, is view of what is known of Muhammad’s personality, the single-mindedness of his purpose, and his transforming effects upon those who heard and followed him. From the Muslim perspective these stories underline, the special and unusual nature of Muhammad’s state at the time of revelation. He was not normal self, was oblivious to his sorrounding and appeared to have been possesed by an outsider power. His state thus taken as an evidence that what his proclaimed was, indeed, a revelation from his Lord.

(Akan tetapi pandangan semacam ini [bahwa Nabi Muhammad menderita penyakit jiwa] tidak akan lama bertahan. Apa yang diketahui tentang kepribadian Muhammad, cita-citanya dan akibat [dari missi yang dibawakan] dapat mengubah orang-orang yang mendengarkan dan meng-ikutinya. Menurut pandangan Islam, cerita-cerita itu menyatakan sifat khas dan luar biasa yang dialami Muhammad pada waktu menerima wahyu. Dia dalam keadaan tidak normal [tidak seperti kondisi biasa] melupakan apa yang ada di sekelilingnya dan nampak dikuasai oleh kekuatan dari luar. Keadaan ini dipandang sebagai bukti dari apa yang dia sampaikan sesungguhnya merupakan wahyu dari Tuhannya).

Pendekatan teologi dialogis memberikan pengakuan Kristen akan kebenaran agama-agama lain. Dalam pandangan memberikan pengakuan eksistensial terhadap agama lain. Syed Vahiduddin menjelaskan bahwa Islampun mengakui keanekaan dalam kehidupan beragama. Dalam penjelasannya menyatakan;

The diversity of religion is thus recognised by Islam as a part of providence. Though the quran urges humankind to follow the straight parth which it prescribes, it recognised that no human effort can change the order of the world in which belief and unbelief co-exist.

Artinya;
(Keanekaan agama diakui oleh Islam sebagai bagian dari pemeliharaan Tuhan. Meskipun al-Quran mengajak manusia untuk mengikuti jalan yang benar sebagaimana yang ia anjurkan, tetapi al-Quran mengakui bahwa tidak ada usaha manusia yang dapat mengubah dunia yang di dalamnya orang percaya dan orang yang tidak percaya hidup berdampingan).

Berkenaan dengan itu, Islam menandaskan bahwa seseorang tidak boleh memaksakan keyakinannya kepada orang lain sebagaimana yang dijelaskan dalam 10:99, yang artinya: “Dan jikalau Tuhan menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”
Larangan memaksakan keyakinan seorang muslim terhadap orang lain berarti Islam menghormati keyakinan agama lain, mengakui perbedaan sehingga bisa menciptakan kerukunan dan kesetiakawanan sosial.
Pandangan Smith dengan pendekatan teologi konvergensi menjurus ke pluralisme agama, yaitu pandangan yang memandang semua agama benar. Agama disatukan dalam keyakinan faith. Pandangan seperti ini juga terdapat dalam Islam. Pengikut pluralisme agama di kalangan intelektual Muslim dewasa ini mulai berkembang di mana-mana, misalnya Mahmoud Ayoub condong kepada konvergensi agama. Ia berdasar pada Alqur’an Surah al-Baqarah 62 sebagai berikut:



Artinya:
Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Ayat yang sama juga diulangi dalam Surah al-Ma’dah 69:
Artinya:

Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Dalam Surah al-Hajj, 17
Artinya:

Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.

Meskipun ulama lain memandang ayat 62 surah al-Baqarah dan ayat 69 surah al-Ma’idah hanya berlaku bagi penganut agama Yahudi, Kristen dan penganut sha’ibin pada masa Rasulullah, yaitu penganut agama tersebut yang masih menganut agama aslinya, tetapi bagi Ayoub ayat tersebut di atas diberlakukan secara universal. Dengan demikian, kecenderungan konvergensi agama seperti yang ditempuh oleh Smith juga sudah mulai terdapat di kalangan pemikir Islam kontemporer.

Kesimpulan

Dari uraian yang lalu dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Studi Islam di Barat sampai saat ini semakin mengalami perkembangan. Dalam studi Islam itu sarjana Barat meneliti dan menganalisis Islam menurut tradisi ilmiah mereka. Hasilnya kadang-kadang positif dan kadang-kadang negatif sesuai dengan metodik yang mereka gunakan. Dalam penyelidikan mereka tentang Islam seringkali lebih melihat realitas umat Islam kemudian diidentikkan dengan Islam itu sendiri.
2. Orang-orang Barat menaruh perhatian besar terhadap Islam dan umatnya, sejak abad pertengahan hingga kini. Di awal abad ke-11 hubungan Islam dengan Kristen Barat mengalami konflik akibat pengaruh perang salib, sehingga memberi pengaruh negatif bangsa Barat dalam mepersepsikan Islam. Tetapi ketika kerajaan Turki terutama pada masa Sultan Mahmud II yang mengem-bangkan politik toleransi, maka persepsi Barat terhadap Islam cenderung positif. Di abad-19 hubungan bangsa Barat dengan umat Islam kembali negatif karena semakin gencarnya imperialisme Barat menekan umat Islam. Sampai pertengahan abad ke-20 Sarjana Barat menerapkan pendekatan ilmiah (saintifik) terhadap Islam. Islam seluruhnya ditempatkan sebagai fenomena historik-empirik sehingga memberikan konklusi bahwa Islam adalah agama ciptaan dan hasil pengalaman historis Muhammad. Pandangan demikian sampai kini masih berlanjut. Tetapi bagi sarjana Barat yang menggunakan pendekatan fenomenologis cenderung positif karena pendekatan fenomenologis melihat realitas apa adanya tanpa dilatari dengan perspektif Kristen Barat.
3. Pendekatan teologi dalam studi Islam dapat dibedakan atas: Pendekatan teologi apologis, teologi dialogis dan teologi konvergensi. Pendekatan teologi apologis cenderung negatif karena meneliti Islam dengan perspektif Kristen. Islam dinilai dan dianalisis untuk mengetahui kelemahannya menurut mereka dalam rangka memperkokoh agama (Kristen)nya sendiri. Pende-katan teologi dialogis nampak positif, karena menilai Islam sebagai agama yang mengandung kebenaran dan memberikan keselamatan kepada penganutnya. Dengan perspektif demikian, Islam di mata Barat dapat berdialog secara konstruktif dengan Islam sebagai agama yang keduanya dapat membawa umatnya kepada saling pengertian. Pendekatan teologi konvergensi, masih menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan intelektual muslim.